[Senin, 13 Oktober 2014] Sejak awal bulan ini pasar saham ajrut-ajrutan. Hitung punya hitung,
dari akhir September 2014 hingga Jumat (10/10), Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) telah turun 3,39% ke 4.962,96. Sepanjang pekan lalu,
asing tercatat telah melakukan aksi jual bersih (net sell) senilai Rp
1,08 triliun.
Meski begitu, hasil survei lembaga pemeringkat dunia, Standard &
Poor’s (S&P) Rating Services, menunjukkan, emiten di Indonesia
memiliki daya tahan terkuat dibanding kan dengan emiten saham di kawasan
Asia Tenggara.
Xavier Jean, Analis Kredit S&P, mengatakan, neraca keuangan
emiten di Indonesia masih prudent dan mampu meminimalisir risiko
penurunan kualitas kredit dalam setahun ke depan. "Perusahaan-perusahaan
besar di Indonesia memiliki manajemen neraca keuangan lebih konservatif
dibanding korporasi di Singapura, Thailand, dan Filipina," ujar Jean,
akhir pekan lalu.
S&P melihat, para emiten saham besar di Indonesia memilih
menumpuk likuiditas sebagai bantalan menghadapi risiko. Sebanyak 80%
dari total 15 korporasi besar yang menjadi target penilaian, profil
risiko keuangan setara dengan investment grade. Selain itu emiten saham
di Indonesia memiliki utang rendah, arus kas baik dan penggunaan belanja
modal tidak berlebihan.
Hitungan S&P, utang bersih korporasi Indonesia hanya naik 15%
sejak 2008 hingga kuartal I-2014. Pertumbuhan utang ini masih di bawah
rata-rata pertumbuhan utang korporasi Filipina yang naik tiga kali lipat
dan Singapura dua kali lipat.
Kendati begitu, profil kredit emiten Indonesia akan meningkat di
tahun ini karena perlambatan pertumbuhan pendapatan. "Kami
memperkirakan, kualitas kredit perusahaan Indonesia sedikit tergerus
dalam 12 bulan mendatang," jelas Jean. Toh, potensi penurunan kualitas
kredit ini tak seburuk perusahaan lain di ASEAN.
Kepala Riset HD Capital Yuganur Wijanarko setuju bahwa emiten di
Indonesia cukup kuat, dengan rata-rata kredit bermasalah 3,5% selama 12
tahun. Daya tahan emiten di Indonesia ini mestinya menjadi alasan asing
untuk mengakumulasi saham berkapitalisasi besar maupun lapis dua yang
sudah terkoreksi.
Menurut Kepala Riset First Asia Capital David Sutyanto, ekonomi
Indonesia ditopang konsumsi domestik. Sedangkan negara lain lebih
berorientasi ekspor. Alhasil, emiten saham di Indonesia bisa
mengandalkan pasar lokal ketika terjadi krisis global.
Nah, di antara sekian banyak emiten saham, Yuganur memasukkan GGRM,
UNVR, INDF, AISA, JSMR, TLKM, BBCA, BBRI, BBNI, dan BMRI sebagai emiten
saham yang tahan banting. Sedangkan David memasukkan UNVR, INDF, ICBP,
TLKM dan PGAS dalam kategori emiten saham yang tahan banting.
0 Response to "Korporasi Indonesia paling tahan banting "
Post a Comment