[Senin, 3 Desember 2012] RETNO, seorang direktur di sebuah perusahaan, pensiun tiga tahun
silam. Dua tahun sebelum pensiun, dia telah menyiapkan diri. Dari jerih
payahnya bekerja selama 32 tahun, ditambah uang pensiun, Retno memiliki
dana yang cukup besar. Retno memutuskan untuk menjadi pengusaha.
Tampaknya, ia tergoda untuk mencoba "naik kelas", dari karyawan menjadi
pengusaha, meski agak terlambat.
Retno tertarik dan akhirnya
memilih berbisnis bakery. Ia sudah mempelajari seluk-beluk bisnis ini
dan membuat rencana bisnis. Ia menyewa ruko di daerah perumahan yang
baru berkembang, membeli mesin, merekrut baker dan karyawan. Juni 2010
bisnis bakery-nya mulai beroperasi.
Beberapa bulan pertama
bisnisnya masih sepi pembeli. Ia berusaha menerapkan berbagai strategi
pemasaran berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya. Namun bisnisnya
semakin sepi dan kerugian menumpuk. Alih-alih membuka puluhan cabang dan
menjual waralaba seperti yang diimpikan, setelah 2,5 tahun, Retno
akhirnya menutup bisnisnya.
Ironisnya, saat Retno memulai bisnisnya, PT Nippon Indosari Corpindo, Tbk (ROTI) sedang melakukan proses initial public offering
(IPO). Perusahaan yang sudah berpengalaman lama di bisnis roti ini
menawarkan saham barunya seharga Rp 1.275 per saham. Retno sebenarnya
bisa memiliki perusahaan roti tanpa harus bersusah payah. Ia cukup
membeli saham ROTI saat IPO, atau setelah diperdagangkan di Bursa Efek
Indonesia (BEI).
ROTI terbukti perusahaan roti yang istimewa.
Selama 2,5 tahun pertama setelah go public, pertumbuhan pendapatan dan
laba bersih amat bagus. Investor di bursa saham mengapresiasi tinggi
kinerja keuangan ini. Desember 2012 harga saham ROTI sudah menyentuh Rp
6.400. Artinya, seharusnya Retno bisa menikmati keuntungan sekitar 400%
selama 2,5 tahun, di luar pendapatan dividen dan tanpa keluar keringat.
Banyak
pebisnis baru yang bernasib seperti Retno. Pada umumnya kesalahan
mereka adalah terlalu percaya diri sehingga perhitungannya kurang
cermat. Keberhasilan berbisnis tidak hanya ditentukan oleh kelihaian
melihat peluang dan keberanian mengambil risiko, tetapi juga perencanaan
yang matang dan pengetahuan (know-how) atas bisnis tersebut.
Sebuah
studi kelayakan bisnis tidak harus berakhir dengan keputusan
menjalankan bisnis tersebut. Dalam kasus Retno, ia tidak memiliki
pengetahuan dan pengalaman yang cukup untuk bersaing di bisnis bakery
yang amat kompetitif.
Mereka yang menyadari kekurangan tersebut,
biasanya memilih untuk berbisnis lewat waralaba. Namun tidak semua
waralaba bagus. Kalaupun ada yang bagus, "harga" yang diminta pewaralaba
biasanya mahal. Karena biaya waralaba dan biaya royalti tinggi,
keuntungan bagi terwaralaba menjadi kurang menarik.
Bagi orang seperti Retno, mengapa tidak memilih untuk menjadi pemilik pasif (sleeping shareholder) sebuah bisnis saja? Ia bisa membeli saham-saham perusahaan publik yang bagus.
Penulis
sering mengingatkan bahwa pasar modal atau bursa saham bukan sekadar
sarana mendapat keuntungan singkat melalui trading saham. Ia memiliki
peran mulia sebagai alat demokratisasi ekonomi. Masyarakat yang tidak
memiliki cukup kemampuan, dari segi know-how dan/atau modal, untuk
menjalankan bisnis punya kesempatan untuk memiliki bisnis yang bagus.
Setiap
saat melihat bisnis atau perusahaan tertutup yang sangat bagus, penulis
selalu membayangkan, seandainya saja perusahaan tersebut go public.
Sayangnya tidak semua perusahaan yang istimewa berbaik hati membuka
kesempatan bagi masyarakat untuk bergabung. Namun, setidaknya, di BEI
saat ini terdaftar 458 perusahaan publik.
Tidak semua saham ini likuid dan bagus fundamentalnya. Maka
dibutuhkan kecermatan dalam memilih. Namun jika kita bisa menemukan 5
hingga 10 saham yang bagus dan memegangnya erat-erat jangka panjang,
hasilnya luar biasa.
Saat seminar di Prasetiya Mulya bulan lalu,
Lo Kheng Hong, investor sukses, menunjukkan bahwa 50 saham berkinerja
terbaik selama 2002-2012 memberikan keuntungan dari 2.072% hingga
14.593%. Ini sama saja dengan keuntungan rata-rata 26% hingga 65% per
tahun, selama 10 tahun! Penulis sajikan sebagian saham tersebut di tabel
di bawah tulisan ini. So, ide untuk menjadi sleeping shareholder tak terlalu buruk, bukan?
Namun
mengapa baru ada sekitar 300.000 investor/trader saham di Indonesia?
Penulis menduga mayoritas masyarakat kita masih berpikir bahwa investasi
saham teramat berisiko. Nampaknya fluktuasi harga saham harian masih
dipakai sebagai acuan risiko. Maka bagi yang jantungnya tidak kuat,
lebih suka memilih untuk menjadi pebisnis langsung seperti Retno atau
berbisnis via waralaba, yang ironisnya belum tentu lebih rendah
risikonya.
Investor sejati seharusnya mengabaikan pergerakan
harga saham jangka pendek dan lebih fokus pada ekspektasi pertumbuhan
harga secara jangka panjang. Mindset "beli saham yang bagus lalu
lupakan" bisa membantu kita untuk menjadi sleeping shareholder yang sukses. (Sumber : Kontan.co.id)
No. | Saham | Harga 2002 | Harga 2012 | Imbal hasil 10 Tahun (%) |
1 | HEXA | 49 | 7,200 | 14,594 |
2 | UNTR | 168 | 20,600 | 12,162 |
3 | CPIN | 29 | 3,250 | 11,107 |
4 | AKRA | 40 | 4,425 | 10,963 |
5 | PANS | 27 | 2,525 | 9,252 |
6 | TINS | 20 | 1,390 | 6,850 |
7 | MYOR | 308 | 20,550 | 6,572 |
8 | ASII | 173 | 7,750 | 4,380 |
9 | PTBA | 395 | 16,500 | 4,077 |
10 | KLBF | 25 | 970 | 3,780 |
11 | INTP | 615 | 22,400 | 3,542 |
12 | HERO | 110 | 3,475 | 3,059 |
13 | SMCB | 138 | 3,475 | 2,418 |
14 | SMGR | 624 | 14,850 | 2,280 |
15 | BTPN | 218 | 5,050 | 2,217 |
0 Response to "Tidur itu kaya"
Post a Comment