Belakangan ini, para investor global terus was-was
menyaksikan indikator-indikator pasar modal yang terus bergejolak. Di
Jakarta, Indeks Harga Saham gabungan (IHSG) bisa naik-turun 1%-3% dalam
sehari bak roller coaster. Sumber gonjang-ganjing ini tak lain adalah
krisis kredit pemilikan rumah (KPR) subprime yang ada di Amerika Serikat
(AS). Nah, apakah KPR subprime itu?
SEBELUM membahas lebih detail tentang KPR subprime, kita perlu tahu
bahwa Amerika Serikat (AS), Kanada, dan negara-negara maju lainnya
membedakan pengutang (debitur) dan kredit (loan) ke dalam beberapa golongan.
Pertama, ada utang atau kredit untuk para nasabah debitur dengan
kemampuan dan catatan kredit paling tinggi yang disebut prime loan.
Karena ini merupakan utang dengan risiko paling rendah, bunga utangnya
pun juga paling rendah, yaitu umumnya mengikuti bunga pasar.
Selain itu, ada pula yang disebut alt-A loan. Ini adalah salah satu
jenis utang yang diberikan untuk nasabah dengan kualitas kemampuan
kredit menengah, tepatnya di antara prime dan subprime.
Pengutang yang masuk kelompok ini biasanya memiliki sejarah kredit
yang lumayan bersih. Tapi, proses pemberian kreditnya sendiri biasanya
membuat risiko kredit alt-A itu lebih tinggi dibanding kredit prime.
Misalnya, rasio utang terhadap pendapatan nasabah tinggi, atau
dokumen-dokumen pendapatan nasabah kurang mencukupi.
Tipe kredit ini termasuk menarik di mata para lembaga penyalur
kredit. Sebab, kredit ini menghasilkan bunga yang relatif tinggi
dibandingkan dengan bunga prime loan. Memang, risiko kredit ini agak
tinggi karena dokumentasi pendapatan debiturnya biasanya kurang lengkap.
Namun, peringkat kredit (credit rating) pengutangnya masih cukup tinggi.
Oh, ya, berbicara soal credit rating, lembaga-lembaga keuangan di
negara maju -- terutama AS -- telah menggunakan sistem penilaian
peringkat kualitas kredit yang canggih untuk nasabah mereka.
Umumnya, mereka menggunakan sistem pemeringkatan kredit keluaran Fair
Isaac Corporation (FICO). FICO adalah perusahaan konsultan manajemen
yang berkantor di Minneapolis, Minnesota, AS. Pelanggan FICO sendiri
telah mencapai sekitar 1.400 perusahaan jasa keuangan di seluruh dunia.
Nah, dengan menggunakan skor FICO ini, lembaga keuangan bisa dengan mudah menilai tingkat kemampuan kredit nasabahnya.
Nasabah yang memiliki skor FICO di atas 620, dari skala 300 sampai
850, termasuk ke dalam nasabah yang berhak memperoleh kredit prime.
Tapi, nasabah kelas ini yang tidak bisa menyediakan dokumen pendapatan
yang lengkap bisa juga masuk kategori alt-A. Sementara, yang skor
FICO-nya di bawah 620, termasuk golongan subprime.
Kredit subprime adalah kredit yang berisiko, baik untuk kreditur
maupun pengutang atau debiturnya. Sebab, kredit ini mengadung kombinasi
bunga yang tinggi dan sejarah kredit nasabah yang buruk. Namun, tetap
saja, lembaga-lembaga keuangan berlomba-lomba mengucurkan kredit ini.
Maklum, selain memberikan keuntungan bunga tinggi, pasar kredit ini juga
sangat besar.
Asal tahu saja, nasabah yang memiliki skor rating kredit FICO (Fair
Isaac Corporation) di bawah 620 masuk dalam kelompok nasabah subprime.
Artinya, nasabah ini tidak layak memperoleh kredit dengan bunga
paling rendah yang ada di pasar. Karena itulah, kredit untuk nasabah
semacam ini juga sering disebut sebagai "kredit kesempatan kedua" atau second chance lending.
Biasanya, para nasabah pengutang subprime memiliki beberapa
karakteristik yang membuat risiko kreditnya tinggi. Di antaranya, dalam
12 bulan terakhir, ia dua kali atau lebih pembayaran pinjamannya telat
30 hari dari jatuh tempo. Yang lainnya, satu kali atau lebih pembayaran
utangnya telah 60 hari dari jatuh tempo dalam 36 bulan terakhir. Untuk
sebuah perusahaan, mungkin ia juga pernah bangkrut dalam jangka waktu 5
tahun terakhir.
Cuma, untuk mengkompensasi risikonya tinggi ini, penyalur kredit
subprime biasanya menetapkan tarif yang lebih tinggi untuk bunga, biaya
keterlambatan cicilan, dan lain-lain.
Nah, jenis kredit subprime sendiri sebenarnya bermacam-macam. Ada
kredit subprime untuk pembelian rumah atau KPR (mortgage), kredit
kepemilikan mobil, kredit renovasi rumah, dan kartu kredit. Bahkan, ada
nasabah yang juga menggunakan kredit subprime ini untuk membayar utang
kartu kredit yang bunganya jauh lebih tinggi.
Jadi, sekali lagi, kredit subprime tak hanya mencakup kredit KPR.
Tapi, selama ini KPR subprime paling disoroti karena nilainya paling
tinggi di Amerika Serikat sana. Dampak krisis di KPR subprime ini juga
bisa mempengaruhi perekonomian secara lebih luas.
Kredit pemilikan rumah (KPR) subprime memang sudah mengandung risiko tinggi sejak diterbitkan. Pertama, debitur atau nasabah pengutangnya sendiri berisiko karena memiliki sejarah kredit yang tak jelas. Selain itu, skim KPR subprime sendiri juga mengandung risiko tinggi. Skim ini sangat rentan terhadap perubahan kondisi ekonomi makro seperti perubahan kebijakan bunga.
Kredit pemilikan rumah (KPR) subprime memang sudah mengandung risiko tinggi sejak diterbitkan. Pertama, debitur atau nasabah pengutangnya sendiri berisiko karena memiliki sejarah kredit yang tak jelas. Selain itu, skim KPR subprime sendiri juga mengandung risiko tinggi. Skim ini sangat rentan terhadap perubahan kondisi ekonomi makro seperti perubahan kebijakan bunga.
Bentuk kredit pemilikan rumah (KPR) subprime yang ada di Amerika
Serikat (AS) sendiri bisa bermacam-macam. Misalnya, ada yang disebut
sebagai interest-only mortgages.
Sesuai dengan namanya, KPR jenis ini memberikan peluang bagi nasabah
pengutang untuk membayarkan cicilan bunga saja dalam jangka waktu
tertentu (antara 5 tahun sampai 10 tahun).
Yang kedua, ada pula produk KPR berwujud pick a payment loan.
Artinya, debitur bisa memilih skim pembayaran cicilan KPR-nya sendiri.
Bisa membayar cicilan bunga saja, bunga plus cicilan pokok, dan
seterusnya.
Selain itu, bentuk KPR suprime lain yang sangat populer sejak tahun
1990-an di AS adalah KPR yang menetapkan bunga tetap yang rendah dalam
beberapa tahun pertama. Tapi, bunga itu akan berubah menjadi mengambang (variable rate) dalam periode berikutnya.
Misalnya, ada yang disebut KPR "2-28". Ini adalah KPR subprime yang
menawarkan bunga tetap murah dalam dua tahun pertama. Tapi, setelah dua
tahun sampai akhir periode KPR yang mencapai 28 tahun, bunganya kemudian
berubah menjadi mengambang mengikuti bunga pasar.
Nah, jika kita perhatikan, skim KPR subprime sendiri memang sangat
berisiko. Ambil contoh, KPR yang terakhir tadi. Jika ternyata bunga
acuan pasar kemudian meningkat drastis setelah dua tahun, berarti bunga
KPR itu akan ikut terbang tinggi. Padahal, debitur KPR-nya sendiri juga
berisiko karena memiliki sejarah kredit yang buruk.
Persis inilah yang terjadi di AS saat ini. Akibat harga-harga rumah anjlok dan suku bunga melejit, pasar KPR subprime terjerumus ke dalam krisis.
Persis inilah yang terjadi di AS saat ini. Akibat harga-harga rumah anjlok dan suku bunga melejit, pasar KPR subprime terjerumus ke dalam krisis.
Masalah di pasar kredit perumahan subprime Amerika Serikat sebenarnya
ibarat bom waktu yang sudah tertanam sejak lama. Sebab, proses
penggelembungan nilai KPR subprime sudah mulai terjadi sejak sekitar
tahun 2003. Banyak ekonom pun sejatinya tahu bahwa suatu saat bom waktu
itu akan meletus. Tapi, mereka tak bisa menebak dengan pasti kapan
krisis KPR subprime itu akan meledak.
Sekadar mengingatkan, untuk memicu ekonominya, Amerika Serikat (AS)
telah memangkas suku bunganya hingga 1% pada bulan Juni 2003.
Betul, suku bunga yang super-rendah ini memang telah membuat ekonomi
AS tetap bergulir. Tapi, kebijakan itu membuat sebuah risiko baru
tertanam di sektor properti.
Suku bunga yang sangat rendah -- termasuk bunga kredit -- membuat
perbankan AS berlomba-lomba mengucurkan KPR. Saking jor-jorannya, mereka
juga menyalurkan KPR berisiko tinggi atau subprime kepada
nasabah-nasabah dengan risiko kredit tinggi.
Nilai KPR subprime ini terus bergulung-gulung hingga mencapai sekitar
US$ 500 miliar. Nah, permintaan rumah yang tinggi ini juga membuat
harga rumah di AS melonjak tinggi melewati harga wajarnya. Fenomena
inilah yang disebut sebagai housing bubble.
Masalahnya, bank-bank kemudian menjual tagihan KPR subprime dalam bentuk surat berharga yang dikenal dengan sebutan collaterlized debt obligation (CDO). Nah, CDO ini kemudian diburu oleh para manajer investasi (hedge fund)
di seluruh dunia. Bahkan, para hedge fund itu menjaminkan CDO-nya ke
bank untuk memperoleh utang baru. Selanjutnya, dananya untuk membeli CDO
yang lain lagi.
Sialnya, The Fed (Bank Sentral AS) kemudian menaikkan bunganya hingga
kisaran 5,25%. Akibatnya, kredit subprime banyak yang macet. Ujungnya
tentu harga CDO juga anjlok dan para hedge fund merugi. Bahkan, beberapa hedge fund
besar membekukan produk-produk investasinya yang berinvestasi di CDO.
Mereka juga menjual asetnya di pasar modal. Nah, hal inilah yang memicu
longsornya pasar keuangan global saat ini. (Sumber : Kontan.co.id)
0 Response to " Memahami Kredit Subprime"
Post a Comment