Bebas finansial. Nampaknya itulah kata yang tepat
untuk menggambarkan seorang Lo Kheng Hong, investor saham yang kerap
disebut-sebut sebagai Warren Buffet-nya Indonesia. Kini 24 tahun sudah
ia menjadi seorang investor saham, dan di usianya akan segera genap 55
tahun ini, tak terpikir sedikitpun olehnya untuk berhenti menjadi
investor saham. Kisah keberhasilannya sebagai investor saham itu, tentu
bisa menjadi pembelajaran bagi orang lain yang ingin berinvestasi di
saham.
Menjadi investor saham itu begitu nikmat dan
mengasyikkan. Seorang investor saham itu bisa kaya, meskipun dia tidur
saja, karena dia punya perusahaan publik yang harga sahamnya selalu
meningkat dan menghasilkan laba besar.
Setiap hari, saya cukup duduk di taman di rumah saya dan melakukan 3 hal yang saya sebut sebagai RTI, yaitu reading, thinking, dan investing.
Saya membaca 4 koran yang datang ke rumah saya setiap hari, laporan
keuangan perusahaan dan data statistik pasar modal. Saya tidak perlu
berjuang dengan kemacetan setiap hari.
Saya juga sudah merasakan tinggal di 5 benua. Saya
gunakan sedikit uang yang saya dapatkan dari investasi di Bursa Efek
Indonesia untuk berkeliling dunia. Setidaknya 2 kali dalam setahun saya
bepergian ke luar negeri. Jika saya ingin berjalan-jalan atau merasakan
tinggal di negara lain, misalnya di New York atau London, saya tinggal
pergi ke sana dan tinggal beberapa lama di sana. Kadang saya tinggal di
negara lain selama 2 minggu – 1 bulan. Biasanya saya bepergian bersama
istri dan anak-anak saya. Di sana kami tinggal di hotel saja, lalu
jalan-jalan. Saya orang yang bebas, tidak punya bos dan tidak punya
karyawan.
Menurut Kheng Hong – demikian ia biasa disapa, ada
5 hal yang tidak dimilikinya, yaitu ia tidak punya kantor, tidak punya
pelanggan sebagaimana para pebisnis atau marketing perusahaan, tidak
punya karyawan, tidak punya bos, dan tidak punya utang satu rupiah pun.
Semua properti miliknya pun ia beli secara tunai, dan bukan dengan
kredit pemilikan rumah (KPR).
Saya hanya punya 1 supir, 2 pembantu dan 1 penjaga vila. Tapi saya tidak punya sekretaris. Saya mengkliping dan mem-filing
sendiri artikel-artikel tentang pasar modal dari koran setiap hari.
Semuanya saya simpan berdasarkan nama perusahaannya sesuai urutan
alfabet dari A-Z. Saya juga menge-print keterbukaan informasi itu, lalu saya file berdasarkan nama perusahaannya.
Kheng Hong terlahir sebagai sulung
dari 3 bersaudara di keluarga yang sederhana. Ia bahkan langsung bekerja
selulus SMA dan baru melanjutkan kuliah ke jurusan Sastra Inggris di
Universitas Nasional, Jakarta setelah bekerja.
Tahun 1979 saya mulai kuliah malam sambil tetap
bekerja sebagai pegawai tata usaha di PT Overseas Express Bank (OEB).
Saya ingat dulu uang pangkal saat masuk universitas itu hanya Rp 50
ribu, dan uang kuliahnya hanya Rp 10 ribu.
Tahun 1989 adalah saat saya mulai menjadi investor
saham. Ketika itu usia saya sudah tidak muda lagi, 30 tahun, berbeda
dengan Warren Buffett yang pertama kali membeli saham pada usia 11
tahun. Selama 11 tahun saya bekerja di OEB, namun jabatan saya tidak
kunjung naik karena bank tersebut tidak melakukan ekspansi usaha. Karena
jabatan saya hanya sebagai pegawai tata usaha, maka gajinya pun kecil.
Dan, modal saya berinvestasi saham pun hanya dari gaji.
Namun, saya adalah orang yang selalu hidup hemat,
uang yang saya punya saya belikan saham. Mungkin orang lain jika dapat
uang akan dikonsumsi, atau ditaruh di deposito. Kebanyakan orang uangnya
dikonsumsi, misalnya dibelikan mobil. Sementara, saya adalah orang yang
paling anti membeli mobil, karena nilainya turun. Sampai sekarang saya
masih pakai mobil yang sudah berusia 10 tahun.
Saya mengambil keputusan untuk berinvestasi di saham karena adanya potensi capital gain yang besar. Saat itu ada saham yang ketika IPO (initial public offering) harganya Rp 7.250, tidak lama kemudian menjadi Rp 35.000. Capital gain-nya
hampir 400 persen. Tentu saja, itu membuat saya tetarik untuk ikut
membeli saham. Di awal-awal berinvestasi saham, saya beli saham saat
IPO, hanya sedikit, misalnya Rp 10 juta saja, hanya dapat beberapa lot.
Dari sedikit lama-lama jadi banyak.
Saham yang pertama kali saya beli adalah saham PT
Gajah Surya Multi Finance saat IPO. Saya mengantre panjang di Gedung
BDNI, Hayam Wuruk. Tetapi, waktu listing harganya turun, dan saya
terpaksa menjualnya di harga lebih rendah dan mengalami kerugian.
Namun, itu tidak membuat saya kapok. Saya lalu mempelajari investasi
saham secara otodidak dengan membaca buku-buku tentang investasi Warren
Buffett, karena dialah yang sudah terbukti mendapatkan uang terbanyak
dari investasi saham. Ada 40 buku Warren Buffett yang saya miliki di
rumah. Ada yang sudah saya baca 3 kali dan 4 kali. Saya ulang-ulang agar
lebih mendalami isinya.
Di tahun 1990, saya pindah ke Bank Ekonomi di bagian
pemasaran, dan setahun kemudian saya menjadi kepala cabang. Tahun 1996,
setelah bekerja selama 17 tahun, saya akhirnya memutuskan untuk berhenti
bekerja di bank dan berkonsentrasi penuh menjadi seorang investor
saham. Saya berani melepaskan pekerjaan saya karena telah mendapatkan
keuntungan yang cukup lumayan, serta telah memiliki pengalaman
berinvestasi di bursa saham selama 7 tahun.
Uang saya seluruhnya saya belikan saham karena saham
memberikan keuntungan yang terbesar dibandingkan investasi yang lain.
Saya belum pernah membeli obligasi karena obligasi memberikan return
yang kecil. Saya juga tidak menaruh uang saya di reksadana, karena
menaruh uang di reksadana artinya uang kita dikelola oleh orang lain.
Bagaimana jika manajer investasinya tidak jujur dan tidak kompeten? Uang
kita bisa habis semua. Contohnya sudah banyak.
Saya juga tidak pernah membeli emas, karena emas
tidak produktif. Jika kita simpan emas 1 kg, maka 10 tahun lagi tetap 1
kg. Dan saya juga tidak membeli dolar. Orang yang menyimpan dolar
umumnya mengharapkan hal yang buruk terjadi, krisis ekonomi, negara
tidak stabil, agar rupiah melemah dan dia memperoleh keuntungan. Berbeda
dengan orang yang membeli saham, ia akan selalu mengharapkan yang baik
yang terjadi, seperti negara aman, ekonomi bertumbuh, dan daya beli
meningkat agar harga sahamnya pun ikut meningkat.
Saya juga tidak menaruh uang dalam
jumlah besar di rekening bank. Hanya secukupnya saja. Buat apa kita
taruh uang di bank? Rugi, karena bunganya kecil. Orang yang menaruh
uangnya di bank, misalnya di deposito, dengan bunga kecil, dan inflasi
yang begitu besar, dia sebetulnya sedang membuat dirinya miskin secara
pelan-pelan.
Padahal bursa efek Indonesia selama 11
tahun ini naik secara luar biasa. Sejak peristiwa bom di Bali tahun
2002, IHSG naik dari 330 menjadi 5251 pada Mei 2013. Ada saham yang naik
hingga 10 ribu persen lebih. Pernah saya membeli saham perusahaan
Petrokimia dengan harga Rp 200, dan pada tahun 2008 turun jadi Rp 60.
Tetapi saya tidak jual, bahkan saya membeli lebih banyak di harga murah,
akhirnya saham itu berbalik naik menjadi Rp 600 dan saya menjualnya
.
Dalam salah satu event Investor Summit yang
digelar oleh Bursa Efek Indonesia, Kheng Hong mengatakan, seorang
investor saham itu harus seperti seorang atlet yang nafasnya panjang dan
kuat bertanding untuk waktu yang lama. Dengan kata lain, seorang
investor saham itu harus kuat dalam hal permodalan. Karena itulah uang
untuk berinvestasi di saham tidak boleh uang yang berasal dari utang dan
bukan uang keperluan sehari-hari. Kheng Hong juga dikabarkan sempat
mengalami kerugian cukup besar hingga uangnya tinggal 15% saat terjadi
krisis 1997-1998. Namun, ia tetap membeli saham dengan uang tersebut dan
posisi yang rugi kemudian berbalik menjadi untung. Ia bahkan berhasil
meningkatkan asetnya di saham hingga 150 ribu sejak 1998 sampai 2013.
Saya adalah seorang Value Investor. Pekerjaan
saya setiap hari adalah mencari perusahaan yang ‘salah harga’ di bursa.
Strategi investasi saya adalah membeli saham perusahaan yang bagus dan
murah, kemudian saya simpan, menunggu dengan sabar, sampai suatu hari
pasar sadar bahwa harga saham itu terlalu murah dan kembali naik ke
harga wajarnya, dari sinilah saya mendapatkan keuntungan. Mungkin di
atas 90% investor saham tidak tahu apa yang mereka beli. Mereka seperti
membeli kucing dalam karung.
Untuk mengetahui perusahaan mana yang ’salah harga’
tersebut, salah satu caranya adalah dengan membandingkan berapa nilai
pasar perusahaan itu dan berapa laba bersih perusahaan itu. Sebagai
contoh, pada tahun 2005 saya membeli saham PT Multibreeder Adirama
Indonesia Tbk (MBAI), perusahaan ternak ayam terbesar kedua di Indonesia
seharga Rp 250. Saya mendapatkan sekitar 6 juta saham MBAI atau sekitar
8,28 % dari total saham MBAI yang beredar di pasar. Jumlah saham MBAI
yang beredar di 2006 mencapai 75 juta lembar. Jadi, nilai perusahaannya
adalah Rp 250 dikali 75 juta lembar, yaitu Rp 18,75 miliar, padahal
labanya Rp 106 miliar. Ada yang tahu tidak? Tidak ada. Jadi tidak ada
yang beli. Setelah saya simpan selama 6 tahun, harganya naik menjadi Rp
31.500 dan saya menjualnya di 2011. Saya memperoleh untung 12.500%.
Saya juga pernah memiliki 850 juta lembar saham PT
Panin Financial Tbk (berkode PNLF). Saya membelinya di harga Rp 100 dan
1,5 tahun kemudian saya menjualnya di harga Rp 260. Setelah itu,
harganya masih naik lagi ke Rp 300.
Properti saya yang pertama, yaitu rumah yang saya
tinggali di Green Garden pun merupakan hasil dari investasi saham. Saya
membelinya pada Januari 1994, karena di akhir 1993 itu saya dapat uang
dari bursa saham yang cukup untuk membeli rumah. Saat itu saya dapat
untung dari penjualan saham PT Rig Tenders Indonesia Tbk (RIGS),
perusahaan pelayaran. Di tahun 1993, saya beli saham RIGS di Rp 800.
Tidak sampai setahun, harga saham itu langsung naik, dan saya jual di Rp
1.350. Dulu saham itu likuid. karena saat itu pasar modal memang sedang
booming. Waktu itu saham saya hanya itu saja, karena uang saya
saat itu tidak banyak. Jadi, biasanya saya beli saham hanya dari satu
emiten saja.
Kini saya telah memiliki rumah tinggal, sebuah
apartemen di Pantai Mutiara dan sebuah vila di Cisarua. Semuanya untuk
saya tinggali, bukan untuk disewakan. Bagi saya, menjadi seorang
investor saham itu sudah lebih dari cukup, tidak perlu menyewakan
properti untuk mendapat income.
Sebuah artikel di salah satu majalah ekonomi
nasional menyebutkan bahwa nilai pasar saham yang dimiliki Lo Kheng Hong
kini mencapai Rp 2,5 triliun. Kheng Hong memang tidak meng-iya-kan
saat kebenaran angka tersebut dikonfirmasikan kepadanya. Namun dalam
salah satu artikel lainnya disebutkan pula bahwa saat tengah memberikan
kuliah umum di Prasetya Mulya dan ada mahasiswa yang menanyakan berapa
banyak kekayaanya, Kheng Hong menjawab dengan diplomatis bahwa dividen
saham yang diterimanya di tahun 2011 telah mampu mencukupi kebutuhannya
seumur hidup.
Selain itu, ketika diminta
memperbandingkan besaran aset properti yang ia miliki dengan total
asetnya, ia pun memperkirakan bahwa total persentase aset propertinya
yang terdiri dari rumah tinggal, sebuah vila dan sebuah apartemen itu
hanya sekitar 1 % dari total portofolio investasinya.
Sudah 20 Tahun ini saya tidak membeli saham saat IPO.
Saya hanya membeli saham yang telah diperdagangkan di bursa. Saat ini,
saya banyak membeli saham perusahaan tambang batubara, karena harganya
sudah jatuh banyak sekali dan sangat murah. Saat ini saya memiliki saham
dari sekitar 20 emiten, dan salah satunya adalah saham PT Petrosea Tbk
yang saat ini kepemilikannya telah mencapai sekitar 9 %.
Saya tidak memiliki target investasi. Berinvestasi di
bursa efek tidak bisa ditargetkan, karena kita tidak bisa tahu dengan
pasti, apa yang akan terjadi di masa depan. Hari esok itu misteri.
Nasehat saya bagi orang-orang yang baru mulai berinvestasi ialah jangan
pernah membeli saham sebelum membaca annual report-nya, karena dengan membaca annual report
kita bisa mengetahui bidang usahanya, labanya, keuangannya, pemiliknya,
serta direktur dan komisarisnya, agar kita tahu apa yang kita beli dan
tidak membeli kucing dalam karung.
Tuhan itu Maha Pengampun, tetapi bursa saham tidak
kenal belas kasihan. Bursa Saham tidak pernah memberi ampun kepada orang
yang tidak tahu apa yang ia beli.
Kini Kheng Hong terus berusaha
membagikan ilmunya dalam rangka menumbuhkan kesadaran banyak orang untuk
berinvestasi. Ia seringkali sharing dengan anak-anak, saudara,
teman, dan juga para mahasiswa dengan memberi kuliah umum di berbagai
universitas, serta kepada para profesional di berbagai perusahaan publik
tentang manfaat berinvestasi di bursa saham. Saudara dan kedua anak
Kheng Hong pun telah turut berinvestasi di saham. Anak bungsunya bahkan
telah mulai membeli saham sejak masih berusia 9 tahun.
Cara Lo Kheng Hong Bermain Saham
-
Tiap hari mencermati berita tentang emiten dan tren pasar modal
-
Memburu saham yang ‘salah harga’ di pasar
-
Mencermati laporan tahunan perusahaan yang sahamnya akan dibeli
-
Tidak menetapkah target berapa lama saham harus dipegang
Rata-rata return investasi Lo Kheng Hong: ± 63% per tahun
Return yang pernah diraih dari beberapa saham :
Nama Perusahaan & Kode Saham
|
Harga Beli
|
Harga Jual
|
Jangka Waktu Investasi
|
Persentase Keuntungan
|
PT Multibreeder Adirama Indonesia Tbk (MBAI)
|
Rp 250
|
Rp 31500
|
6 tahun (2005-2011)
|
12500%
|
PT Panin Financial Tbk (PNLF) |
Rp 100
|
Rp 260
|
1,5 tahun
|
160%
|
PT Rig Tenders Indonesia Tbk (RIGS) |
Rp 800
|
Rp 1350
|
< 1 tahun (1993) | 68,75% |
Kata Aidil Akbar tentang Lo Kheng Hong
Aidil Akbar Madjid, Chairman IARFC (International Association of Registered Financial Consultants) Indonesia
dan Founder Akbar’s Fianancial Check Up (AFC) Financial mengatakan,
sebenarnya setiap orang bisa menjadi seperti seorang Lo Kheng Hong jika
mengikuti pola yang sama. Namun, jelas bahwa tidak semua orang memiliki
‘disiplin’ seperti apa yang diterapkan Lo Kheng Hong tersebut. “Dan
untuk dapat hasil hingga triliunan tersebut, jelas dibutuhkan modal
besar,” kata Aidil.
Menurutnya, keuntungan besar dari saham itu memang
mungkin didapatkan jika seorang investor masuk ke pasar dengan dana yang
cukup besar ketika terjadi krisis di tahun 1997-1998 dan terus
berinvestasi hingga sekarang. “Di 1997-1998 IHSG turun sampai 700, dan
sekarang sudah ke 4.300-an,” ujarnya.
Secara umum, harga saham emiten besar yang sudah punya nama, memiliki fundamental yang baik dan terbilang bluechip
memang disebut-sebut memiliki potensi kenaikan rata-rata 20-25 % per
tahun. Namun kenyataannya, harga saham yang sudah ‘mature’ itu
kenaikannya tidak lagi terlalu banyak. “Bahkan terkadang dalam 5 tahun
harganya kembali lagi ke harga awal,” ujarnya.
Diakui Aidil, berinvestasi saham memang
sebaiknya dilakukan untuk jangka panjang, dan sebaiknya investor memilih
saham-saham yang memiliki potensi dan fundamental yang bagus. Namun,
saham seperti ini biasanya namanya memang belum ’terdengar’ dan tidak
termasuk kategori bluechip. Dan, itu berarti saham tersebut juga memiliki risiko yang lebih tinggi daripada saham-saham bluechip.
“Perlu diingat, berapa banyak perusahaan yang harga sahamnya bisa naik
secara signifikan? Multibreeder itu hanya 1 dari sekian banyak
perusahaan yang melantai di bursa. Intinya keuntungan sebesar itu bisa
didapatkan, tapi tergantung tipe investornya, tergantung berapa
modalnya, tergantung analisa fundamental dan teknikalnya dan juga
tergantung keberuntungannya,” ujarnya. (Sumber: Swa.co.id)
0 Response to "Lo Kheng Hong, Sang Value Investor yang Bebas Finansial"
Post a Comment